JAKARTA, BL- Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM)
kembali mendorong tata kelola kehutanan masyarakat, demi perbaikan kehidupan
masyarakat sekitar hutan.
Menurut Andri Santosa, Seknas FKKM,
Kehutanan Masyarakat telah menjadi sasaran pembangunan, namun capaiannya belum
ideal secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam Rencana Pembangungan Jangka
Menengah (RPJM) tahun 2010 – 2014, ditargetkan 7,9 juta hektar hutan dikelola
dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kesejahteraannya. Upaya tersebut
ditempuh melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) serta Hutan
Tanaman Rakyat (HTR). Namun target RPJM tersebut baru tercapai sekira 17,5
persen saja.
“Persoalannya pelik, dari berbelitnya
proses perizinan hingga kemampuan lembaga masyarakat untuk mengelola
hutan,”kata Andri melalui keterangan tertulisnya yang diterima
Beritalingkungan.com.
Secara kuantitatif, capaian skema HD dan
HKm baru 38%, dari target seluas 2.5
juta hektar.
Hingga Agustus 2014 areal HD dan HKm yang telah ditetapkan hanya
sekira 0.95 juta hektar, Kata Wiratno, direktur Bina Perhutanan Sosial,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Setelah ditetapkan,
masyarakat masih dibebani izin usaha pemanfaatan untuk menikmati hasil
hutannya. Luasan HD dan HKm yang telah memiliki izin usaha pengelolaan dan
pemanfaatan sekira 0,22 juta hektar saja, hanya 8.84% dari target,”tambahnya.
Telaah FKKM atas data KLHK, pada skema
HTR, areal yang telah dicadangkan baru dimanfaatkan 26.77% nya saja. Hingga
september 2014, kementerian kehutanan telah mencadangkan 0,72 juta hektar areal
hutan produksi untuk HTR, dari target RPJM seluas 5,4 juta hektar. Dari areal
yang telah dicadangkan, baru seluas 0.19 juta hektar saja yang telah memiliki
izin pengelolaan.
“Padahal, apapun bentuk skema kelola
hutan yang dipakai seperti HKm, HD, HTR tak jadi soal bagi masyarakat. Begitu
pula status kawasan hutannya, milik negara atau hutan adat. Namun jelas, jika
berada di kawasan hutan adat maka bukan lagi HD/HKm/HTR, harus dirubah menjadi
hutan adat,
“ujar Andri.
Seraya menambahkan, masyarakat juga belum
memahami skema-skema tersebut dan seringkali terindikasi tidak tepat sasaran.
Seperti temuan tim TLKM di lapangan, adanya kawasan berizin HTR yang mangkrak
di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Ditengarai masyarakat pemegang izin
berasal dari luar daerah yang jauh dari kawasan hutan. Konon, kelompok tani
yang diduga fiktif tersebut diketuai oleh tokoh legislatif provinsi.
Pada skema HTR juga ditemukan kasus
penyelewengan. Di Kolaka Sulawesi Utara, puluhan hektar kawasan HKm terindikasi
dijual. Sehingga pemegang izinnya tidak dapat mengelola hutan yang lebih dulu
dikuasai pihak lain. Di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan masyarakat telah
lebih dulu menanami jati kawasan hutan sebelum izinnya keluar.
Tak melulu buruk, kehutanan masyarakat
juga bisa berprestasi. Seperti HKm Pipikoro, di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah
yang memiliki beragam potensi komoditas dari kawasan seluas 2.600 hektar. Per
tahun, HKm pipikoro bisa menghasilkan Rotan sebanyak 150 ton, gaharu 0.5 ton
serta kopi 25 ton.
“Potensi produk hutan yang dikelola
masyarakat juga besar, ujar Wisnu Caroko, peneliti komoditas hutan non-kayu.
Dari kajian rantai nilai yang dilakukan FKKM di pulau Jawa, Sulawesi dan Nusa
Tenggara, komoditas kopi dan mete masih menjadi produk primadona kehutanan
masyarakat, lanjutnya.
Target luasan kehutanan masyarakat
meningkat pada RPJM 2015 - 2019. Seluas
40 juta Ha atau 30 persen dari kawasan hutan ditargetkan untuk dikelola
masyarakat. Sekira 10 persen dari luasan 40 juta hektar tersebut, diharapkan
dicapai pada tahun 2015.
Menurut Andri, untuk mencapai 30 persen
perlu upaya serius dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintahan Jokowi – JK.
Idealnya kehutanan masyarakat ditangani direktorat khusus dengan dukungan dana
serta SDM yang memadai.
FKKM melihat masyarakat mengalami
kebingungan dalam prosedur pengurusan izin, serta skema kelolanya. Sehingga
perlu disederhanakan. Menurut Andri, kehutanan masyarakat tak cuma HKm, HD dan
HTR; skema kemitraan kehutanan serta desa konservasi juga perlu didorong. “Soal
tatakelola di lapangan juga perlu dicermati, karena berhubungan langsung dengan
nasib masyarakat di sekitar hutan,”tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar