Rabu, 07 Januari 2015

Kerusakan Lingkungan di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

LAPORAN Keempat dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun 2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki angka prosentase kebenaran sekitar 80%.
Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar 1,8–4oC, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK).
Kualitas lingkungan buruk akibat dipinggirkankannya persoalan dan dampak lingkungan dalam pembangunan menjadi faktor utama bencana lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sosial dan ekonomi. Ini menempatkan tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana lingkungan semakin besar. Kondisi ini artinya perubahan iklim akan mendorong dan mempercepat bencana serta kerusakan lingkungan.
Tengok saja apa yang terjadi di kota-kota besar, contoh Jakarta. Saat kawasan hijau dan daerah resapan serta tangkapan air (ditambah lemahnya koordinasi antarwilayah dalam menjaga dan memelihara watershed management dari hulu ke hilir) mengalami penurunan akibat ketidakkonsistenan pemerintah daerah (pemda) terhadap rencana tata ruangnya sendiri. Hujan dengan intensitas yang tinggi dengan mudah “menenggelamkan” beberapa wilayah utama Jakarta.
Di sisi lain, laporan studi Departemen Pekerjaan Umum (2007) menyebutkan bahwa dampak ancaman perubahan iklim yaitu naiknya permukaan air laut akan menjadi ancaman terhadap beberapa industri seperti; anjungan minyak dan gas di laut, transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir. Laporan ini semakin memperkuat sinyalemen dari laporan keempat IPCC.
Dalam konteks otonomi dan desentralisasi, kerusakan lingkungan, khususnya akibat perubahan lahan –termasuk di dalamnya kebakaran hutan-, perambahan dan penebangan illegal dan legal sudah sering disampaikan dan dilaporkan melalui advokasi sejumlah organisasi yang memiliki perhatian dengan persoalan lingkungan. Dengan demikian revitalisasi kebijakan lingkungan, termasuk di dalamnya ancaman perubahan iklim sudah berada pada prioritas utama.
IPCC menyebutkan bahwa kawasan Selatan Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau.
Kegagalan pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya “marginalisasi” isu lingkungan oleh tiap sektor, misalnya tampak pada persoalan watershed management. Data menunjukkan bahwa persoalan air di kota–kota besar di Indonesia tidak saja akibat tingginya run off air sebagai dampak minimnya wilayah /daerah resapan dan tangkapan air tapi juga kualitas air akibat pencemaran industri, intrusi air laut, penurunan air tanah dan kekeringan. Persoalan banjir saat ini, tidak saja didominasi di wilayah perkotaan. Dalam lingkup perubahan iklim dan kegagalan manajemen lingkungan tadi, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.
Adaptasi
Dengan dilaluinya beberapa konvensi perubahan iklim sebagai komitmen negara-negara dalam memerangi pemanasan global dan mulai dibicarakannya secara serius dalam rentang waktu dua tahun terakhir persoalan adaptasi perubahan iklim menjadi perhatian dan fokus utama negara-negara berkembang dan miskin.
Keterbatasan sumber daya dana, teknologi, dan manusia memosisikan negara-negara tersebut sangat rentan dengan perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem (termasuk ekosistem, sosial ekonomi, dan kelembagaan) untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, negara-negara tersebut didorong untuk memiliki kemampuan adaptasinya (adaptive capacity), yaitu kemampuan suatu sistem (termasuk ekosistem, sosial ekonomi, dan kelembagaan) untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan, dan mengatasi konsekuensinya.
Dengan mendorong pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim kedalam agenda pembangunan nasional atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan iklim diterjemahkan tidak saja dalam rencana strategis jangka menengah, namun juga ke dalam kebijakan dan struktur kelembagaan.
Selama ini, pembangunan lebih memfokuskan pada pertimbangan ekonomi semata. Padahal bukti menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang tak berwawasan lingkungan akan semakin “peka” dengan kehancuran ekonomi itu sendiri.
Sebut saja Honduras, kejadian badai Mitch yang melanda negara tersebut meruntuhkan pertumbuhan ekonomi mereka sebesar 4-5% pertahun. Data yang disampaikan World Bank menyebutkan antara tahun 1984 sampai 2003, persentase kehilangan pendapatan nasional tiga kali lebih besar terjadi di negara yang berpendapatan rendah dan menengah (80% penduduk dunia) akibat perubahan iklim.
Persoalan dalam perubahan iklim adalah kerugian yang ditimbulkan akan lebih besar daripada biaya penangulangannya setelah bencana terjadi. Oleh sebab itu, sepatutnya Pemerintah Indonesia sudah harus menempatkan persoalan kegagalan pengelolaan lingkungan saat ini sebagai prioritas.
Prioritas kedua, Alokasi budget Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara atau Daerah sepatutnya sudah mengintegrasikan upaya-upaya adaptasi di seluruh sektor yang terkait dengan kerentanan perubahan iklim. Dengan kata lain, daripada menunggu ‘uang recehan’ dari negara-negara yang diwajibkan memberikan komitmen pendanaan adaptasi yang belum tahu kapan realisasinya. Semoga tidak terlambat......



sumber :http://dnpi.go.id/portal/en/berita/berita-terbaru/302-kerusakan-lingkungan-di-tengah-ancaman-perubahan-iklim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar