LAPORAN Keempat dari
Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun 2007
menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem
fisik dan biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki angka
prosentase kebenaran sekitar 80%.
Laporan
kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific
& Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi
akan naik sebesar 1,8–4oC, sedangkan
permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya serius
menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK).
Kualitas
lingkungan buruk akibat dipinggirkankannya persoalan dan dampak lingkungan
dalam pembangunan menjadi faktor utama bencana lingkungan yang berpengaruh pada
kualitas sosial dan ekonomi. Ini menempatkan tingkat kerentanan wilayah
terhadap bencana lingkungan semakin besar. Kondisi ini artinya perubahan iklim
akan mendorong dan mempercepat bencana serta kerusakan lingkungan.
Tengok saja
apa yang terjadi di kota-kota besar, contoh Jakarta. Saat kawasan hijau dan
daerah resapan serta tangkapan air (ditambah lemahnya koordinasi antarwilayah
dalam menjaga dan memelihara watershed management dari hulu ke hilir) mengalami
penurunan akibat ketidakkonsistenan pemerintah daerah (pemda) terhadap rencana
tata ruangnya sendiri. Hujan dengan intensitas yang tinggi dengan mudah
“menenggelamkan” beberapa wilayah utama Jakarta.
Di sisi lain,
laporan studi Departemen Pekerjaan Umum (2007) menyebutkan bahwa dampak ancaman
perubahan iklim yaitu naiknya permukaan air laut akan menjadi ancaman terhadap
beberapa industri seperti; anjungan minyak dan gas di laut, transportasi,
perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir.
Laporan ini semakin memperkuat sinyalemen dari laporan keempat IPCC.
Dalam konteks
otonomi dan desentralisasi, kerusakan lingkungan, khususnya akibat perubahan
lahan –termasuk di dalamnya kebakaran hutan-, perambahan dan penebangan illegal
dan legal sudah sering disampaikan dan dilaporkan melalui advokasi sejumlah
organisasi yang memiliki perhatian dengan persoalan lingkungan. Dengan demikian
revitalisasi kebijakan lingkungan, termasuk di dalamnya ancaman perubahan iklim
sudah berada pada prioritas utama.
IPCC
menyebutkan bahwa kawasan Selatan Indonesia akan mengalami penurunan curah
hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan.
Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor
pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar
lahan hutan. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap
tenggelamnya pulau-pulau.
Kegagalan
pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya “marginalisasi” isu lingkungan
oleh tiap sektor, misalnya tampak pada persoalan watershed management. Data menunjukkan bahwa persoalan
air di kota–kota besar di Indonesia tidak saja akibat tingginya run off air
sebagai dampak minimnya wilayah /daerah resapan dan tangkapan air tapi juga
kualitas air akibat pencemaran industri, intrusi air laut, penurunan air tanah
dan kekeringan. Persoalan banjir saat ini, tidak saja didominasi di wilayah
perkotaan. Dalam lingkup perubahan iklim dan kegagalan manajemen lingkungan
tadi, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan
sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.
Adaptasi
Dengan
dilaluinya beberapa konvensi perubahan iklim sebagai komitmen negara-negara
dalam memerangi pemanasan global dan mulai dibicarakannya secara serius dalam
rentang waktu dua tahun terakhir persoalan adaptasi perubahan iklim menjadi
perhatian dan fokus utama negara-negara berkembang dan miskin.
Keterbatasan
sumber daya dana, teknologi, dan manusia memosisikan negara-negara tersebut
sangat rentan dengan perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim didefinisikan
sebagai kemampuan suatu sistem (termasuk ekosistem, sosial ekonomi, dan
kelembagaan) untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu,
negara-negara tersebut didorong untuk memiliki kemampuan adaptasinya (adaptive
capacity), yaitu kemampuan suatu sistem (termasuk ekosistem, sosial
ekonomi, dan kelembagaan) untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim,
mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan, dan mengatasi konsekuensinya.
Dengan
mendorong pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim kedalam agenda pembangunan
nasional atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan
iklim diterjemahkan tidak saja dalam rencana strategis jangka menengah, namun
juga ke dalam kebijakan dan struktur kelembagaan.
Selama ini,
pembangunan lebih memfokuskan pada pertimbangan ekonomi semata. Padahal bukti
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang tak berwawasan lingkungan akan
semakin “peka” dengan kehancuran ekonomi itu sendiri.
Sebut saja
Honduras, kejadian badai Mitch yang melanda negara tersebut meruntuhkan
pertumbuhan ekonomi mereka sebesar 4-5% pertahun. Data yang disampaikan World
Bank menyebutkan antara tahun 1984 sampai 2003, persentase kehilangan
pendapatan nasional tiga kali lebih besar terjadi di negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (80% penduduk dunia) akibat perubahan iklim.
Persoalan
dalam perubahan iklim adalah kerugian yang ditimbulkan akan lebih besar
daripada biaya penangulangannya setelah bencana terjadi. Oleh sebab itu, sepatutnya
Pemerintah Indonesia sudah harus menempatkan persoalan kegagalan pengelolaan
lingkungan saat ini sebagai prioritas.
Prioritas
kedua, Alokasi budget Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara atau Daerah
sepatutnya sudah mengintegrasikan upaya-upaya adaptasi di seluruh sektor yang
terkait dengan kerentanan perubahan iklim. Dengan kata lain, daripada menunggu
‘uang recehan’ dari negara-negara yang diwajibkan memberikan komitmen pendanaan
adaptasi yang belum tahu kapan realisasinya. Semoga tidak terlambat......
sumber :http://dnpi.go.id/portal/en/berita/berita-terbaru/302-kerusakan-lingkungan-di-tengah-ancaman-perubahan-iklim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar